Di akhir zaman seperti saat ini, ada kebutuhan untuk membahas suatu kasus yang merupakan Fitnah yang terjadi di dalam rumah tangga Muslim terkait dengan “Pengaruh Pendidikan Buruk Orangtua terhadap Anak” atau dikenal dengan istilah “Toxic Parents”, atau dalam Bahasa Arab disebut: “Al-Waalidu As-Saamu (الوالد السام)”.
Hendaknya kita para orangtua membiasakan diri untuk selalu bertumpu pada Wahyu dalam segala gerak kehidupan kita di dunia ini, termasuk dalam mengurus rumah tangga, terutama dalam mendidik anak, agar segala perkara yang dihadapi dapat menjadi berupa SOLUSI; karena secara otomatis akan berada dalam bimbingan / tuntunan dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Sedangkan kalau berbagai perkara di dunia ini diselesaikan dengan bertumpu pada sekedar Budaya (apalagi yang tidak selaras dengan Syari’at Allooh), maka bisa dipastikan yang dihadapi adalah MASALAH, dalam sedikit ataupun banyak perkaranya. Akan tetapi sikap demikian ini bukanlah merupakan sikap pesimistis, tetapi lebih karena perkara ini juga merupakan bentuk dari konsekwensi ‘Aqidah, dimana Muslim seharusnya dalam berbagai perkara hendaknya selalu bertumpu pada Wahyu dalam menjalani kehidupannya. Titik tolak Muslim sesungguhnya dapat dipastikan pastilah berasal dari Wahyu, bukan Budaya. Memang benar bahwa Budaya itu tidak dilarang dalam Islam, namun selama Budaya itu tidak bertentangan dengan Wahyu Allooh سبحانه وتعالى.
“Toxic Parents” ini sesungguhnya secara dominan merupakan bagian dari kasus yang terjadi dalam lingkup “Tarbiyatul Aulad (تربية الأولاد) / Pendidikan Anak”.
Dalam Tarbiyatul Aulad, ada 4 rukun yang perlu diperhatikan, antara lain:
- Orangtua, yaitu: Al-Waalid (الوالد) / Al-Abu (الأب) untuk Bapak dan Al-Waalidah (الوالدة) / Al-Ummu (الأم) untuk Ibu.
Manusia yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى tanpa keberadaan Ibu dan Bapak adalah Nabi ‘Adam ‘alaihis salam, sedangkan yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى tanpa keberadaan Bapak adalah Nabi ‘Isa ‘alaihis salam; adapun selainnya adalah seperti kita manusia biasa yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى dari proses turun temurun biologis yang melibatkan seorang Ibu dan seorang Bapak (Waalidaini).
Sedangkan kata “Al-Abu” dan “Al-Ummu” bisa bermakna dua, yaitu bisa bermakna orangtua secara gen turun temurun biologis, dan bisa pula bermakna bukan orangtua secara biologis, tetapi merupakan “nilai dari orang yang mendidik/mengasuh”. Oleh karena itu dalam dunia Pendidikan, seorang Guru (Agama) disebut juga “Bapak Pendidikan Diin” / “Al-Ubuwwah ad-Diiniyyah” (الأبوة الدينية) / Syaikhun (شيخ) atau Mu’allimun (معلم).
2. Anak, dikenal dengan beberapa istilah:
a) Ibnun (anak laki-laki) & Bintun (anak perempuan),
b) Shobiyyun (bayi yang baru lahir)
c) Ghulam (anak kecil yang belum baligh)
d) Thiflun (anak kecil yang sudah mulai tumbuh)
e) Waliidun (anak kecil)
3. Manhaj (Pedoman Pendidikan) yang merupakan seperangkat konsep dan rencana Pendidikan dari kedua orang tua pada anaknya.
4. Rumah (Bayt), rumah ini adalah merupakan sarana dimana proses Pendidikan anak dapat berlangsung.
Kemudian selain 4 faktor diatas, ada juga faktor yang berpengaruh dalam Pendidikan Anak yakni: 5) Lingkungan (Bi’ah / بيئة), dan 6) Masyarakat (Mujtama’ / مجتمع).
Ketika pendidikan seorang anak bermasalah, maka perlu diteliti terlebih dahulu seluruh faktor diatas secara proporsional, manakah yang menimbulkan penyebab dari masalah tersebut. “Toxic Parents” adalah salah satu dari 6 faktor diatas yang dapat menjadi penyebabnya, dan faktor inilah yang akan dibahas dalam kajian ini.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rohimahullooh menulis Kitab yang berjudul “Tuhfathul Mauduud fi Ahkamil Mauluud (Hadiah Indah bagi sang Anak tentang Hukum-Hukum Pendidikan Anak)”; dimana Kitab ini merupakan buah karya yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu rujukan tentang bagaimana mendidik anak dari kecil hingga dewasa sesuai panduan syari’at Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم.
Diriwayatkan bahwa pada masa ‘Umar bin al-Khoththoob رضي الله عنه, ada seorang Bapak yang menyeret putranya untuk diadukan kepada Amirul Mu’minin. Di depan ‘Umar رضي الله عنه, sang Bapak tersebut mengeluhkan kelakuan putranya yang tak mau menghormati serta bersikap durhaka kepadanya. Orang tua itu berkata, “Mohon nasehatilah dia, wahai Amirul mu’minin.”
‘Umar رضي الله عنه lalu menasehati anak lelaki tersebut, “Apakah engkau tidak takut kepada Tuhan-mu, sedangkan keridhoan-Nya tergantung pada keridhoan orangtuamu?”
Tak disangka-sangka sang Anak itu berbalik bertanya: “Wahai Kholiifah, apakah disamping terdapat perintah (Allooh) agar anak berbakti kepada orangtuanya, bukankah terdapat juga perintah-Nya agar orangtua bertanggung-jawab kepada anaknya?”
‘Umar bin al-Khoththoob رضي الله عنه menjawab: “Ya, benar memang ada. Seharusnya seorang Bapak menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra-putrinya, dan memberikan nama yang baik kepada putra-putrinya, serta mengajari putra-putrinya Al-Qur’an maupun syari’at-syari’at Allooh lainnya.”
Mendengar penjelasan Amirul Mu’minin, maka anak laki-laki itu pun balas menjawab: “Jika demikian, bagaimana aku berbakti kepada Bapakku? Demi Allooh, Bapakku tidak sayang kepada Ibuku yang diperlakukannya tak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik: Aku dinamai ayahku dengan nama “Juala” (Jadian). Dia juga tak mengajariku tentang Kitab Allooh, satu ayat pun!”
Seketika itu ‘Umar bin al-Khoththoob رضي الله عنه berpaling, matanya memandang tajam ke arah orangtua anak itu, sambil berkata: “Kalau begitu, bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orangtua yang durhaka!”
(Kamaluddin bin ‘Abdul Ghoni, Qodhoya at-Tarbiyyah ad-Diiniyyah fil Mujtama’il Islamy, hal. 103-104)
Kisah diatas termasuk kisah yang masyhur betapapun dari sanad-nya tidak ada keterangan yang pasti, namun dapat menjadi gambaran contoh daripada Orangtua durhaka (Toxic Parents), apabila ia: (1) Tidak menyayangi secara lahir maupun batin pada sang Istri yang merupakan sumber pendidikan pertama kali bagi anak kandungnya, (2) Berkata-kata buruk/kasar dan tidak memanggil anak-anaknya dengan sebutan yang baik. (3) Tidak mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik sesuai dengan syari’at Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, dimana pendidikan baik itu tentulah yang akan memberi manfaat dunia akherat bagi masa depan mereka.
Bukankah fenomena seperti ini sesungguhnya bisa saja banyak terjadi di dalam masyarakat, dimana sejak kecil sang anak dititipkan pengasuhannya kepada “baby sitter” / “khodimat” / pembantu rumah tangga; dengan alasan orangtuanya sibuk bekerja? Padahal yang dinamakan “mengurus, menyayangi dan mendidik anak” tentulah tidak lepas dari lelah letihnya sang orangtua dalam usahanya itu, tapi justru keikhlasan berletih-letih mengurus sang buah hati itulah yang in syaa Allooh pada masa yang akan datang akan mendatangkan pahala kebaikan bagi sang orangtua dari Allooh سبحانه وتعالى.
Sesungghnya doa anak yang shoolih adalah diantara suatu amalan yang pahalanya dapat terus mengalir bahkan setelah sang orangtua meninggal,
Perlu diingat bahwa tugas utama dan orientasi para orangtua sesungguhnya adalah:
- Mempersiapkan Generasi Qurrotu Ainin / Qurrotu A’yun, sebagaimana doa berikut ini:
“ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYATINAA QURROTA A’YUNIN, WAJ’ALNAA LILMUTTAQINA IMAAMAA.” (Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa)” (QS. Al-Furqon/25:74)
Al-Hasan al-Bashri rohimahullooh, seorang ‘Ulama Tabi’iin, ketika ditanya apakah Qurrota A’yun dalam ayat diatas berlaku di dunia ataukah di akherat, maka beliau menjawab: “Di dunia.”
Lalu ditanya lagi, “Seperti apakah wujudnya?”
Maka beliau menjawab,“Seseorang yang melihat pada anaknya atau (melihat) pada istrinya (kekasihnya) ta’at kepada Allooh.”(Ibnu Hajar al-Asqolany, Fathul Baari, 8/ 491) Adapun Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه menjelaskan bahwa:“Orang yang ta’at pada Allooh, sehingga matanya merasakan kesejukan baik di dunia maupun di akherat.” (Ibnu Abi Hatim [wafat 327 H], Tafsir Ibnu Abi Hatim, 8/2741, no. 15483) Sedangkan dalam Al-Baghowy dalam Tafsirnya menjelaskan sebagai, “Anak-anak yang berbakti dan bertaqwa.” (Al-Baghowy, Tafsir al-Baghowy, 6/99).
Mempersiapkan anak sebagai investasi masa depan (akherat), sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits-hadits Abu Hurairoh رضي الله عنه diatas. Disamping itu, seorang anak yang shoolih yang telah diberi pendidikan diin yang baik dimasa hidup sang orangtuanya, tentulah akan mengamalkan birrul walidain dengan cara yang telah diajarkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits berikut ini:
Dari ‘Abdullooh bin ‘Umar ي الله عنه bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik birrul walidain seorang anak adalah menyambung silaturrahim kepada orang-orang yang orangtuanya (semasa hidupnya) berhubungan baik dengan-nya.” (HR. Muslim, Shohiih Muslim, no: 2552)
- Menjaga diri dan keluarga dari Api Neraka, dengan cara:
a) Mengajari anak dan istri agar taat kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan tidak suka bermaksiat kepada Allooh سبحانه وتعالى,
Dari seorang Tabi’iin, Qotadah, beliau berkata, “Perintahkanlah anggota keluarga kalian agar ta’at pada Allooh dan laranglah mereka dari bermaksiyat kepada Allooh. (‘Abdur Rozzaq, Tafsir ‘Abdur Rozzaq, 3/323, no: 3253).
b) Wasiati, pesankan kepada anak istrimu agar mereka bertaqwa. c) Wiqoyyah / mencegah dan melindungi: Orangtua harus berperan melindungi anak-anaknya, dan mencegah mereka dari api neraka, sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى Berpesanlah pada mereka agar mereka bertaqwa kepada Allooh.” (As-Suyuthy, Ad-Durrul Mantsur, 8/225)
Baca juga : Nasihat Untuk Istri Sholihah
II. PERAN ORANGTUA MENURUT AL-QUR’AN
Diantara peran orangtua menurut Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
- Ri’ayyah / memelihara, dengan cara: sang Ibu banyak membaca Al-Qur’an disaat kehamilan, memberikan asupan ASI yang baik ketika bayi telah lahir, melaksanakan ‘Aqiqoh 7 hari setelah kelahiran sang bayi, sang bayi di-Tahnik dengan kurma, diberi nama yang baik, serta didoakan kebaikan, dan lain sebagainya sebagaimana tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
Tarbiyyah / mendidik, dengan cara: menumbuhkan Tauhid di dalam diri sang Anak, kemudian membantunya untuk memelihara Tauhid tersebut; serta menjaga sang Anak dari aneka virus ‘Aqidah berupa paham-paham menyimpang yang bertentangan dengan Islam seperti: Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme, Materialisme, Atheisme, dan lain sebagainya.
Orangtua berusaha menjadikan sang Anak tumbuh berkembang dalam kebaikan Akal, Ruh, Jiwa, Jasad dan Rasa-nya; dimana sang Anak dibimbing untuk memiliki rasa Cinta-Takut-Harap kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Bacakan pada sang Anak siroh Nabawiyyah, bagaimana perjuangan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para shohabatnya rodhiyalloohu ‘anhum dalam meninggikan Kalimatullooh, agar sang Anak sedari kecil terbina untuk mengambil ibroh dari kisah-kisah tersebut sehingga tumbuh dalam dirnya kecintaan akan Al-Islam.
‘Abdullooh bin ‘Umar rodhiyalloohu ‘anhuma berkata:
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya, serta ketaatannya kepada dirimu.”
(Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, Tuhfathul Mauduud Bi Ahkamil Mauluud, hal. 331)
- Taurits / mewariskan, dengan cara mewariskan nilai-nilai yang baik, Tauhid yang lurus serta akhlaq mulia pada sang Anak. Warisan itu tidak hanya berupa harta, tetapi warisan itu bisa berupa Nilai-Nilai Tauhid dan Kebaikan. Sebagai contoh adalah Wasiat Nabi Yaqub ‘alaihissalam kepada Anaknya disaat menjelang kematiannya, yang diabadikan dalam QS. Al-Baqoroh/2:133 berikut ini:
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(QS. Al-Baqoroh/2:133)
- Taulid / kaderisasi, dengan cara meneruskan nilai-nilai kebaikan Tauhid & Al-Islam itu dari orangtua ke diri anaknya, lalu dari anak ke diri cucunya, dari cucu ke cicit dan seterusnya; sehingga diharapkan mereka semua menjadi keluarga shoolih yang memiliki cita-cita, visi misi yang sama yakni “Baiti Jannati” (Rumahku adalah Surgaku). Seluruh anggota keluarga istiqomah beriman dan beramal shoolih dengan kesadaran penuh agar mereka tidak cuma berkumpul bersama di dunia yang fana ini; namun juga bercita-cita, berharap agar bisa bersama-sama berkumpul di Surga Allooh سبحانه وتعالى di akherat kelak. Sehingga mereka adalah yang sebagaimana difirmankan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Ar-Ra’d/13: 23-24:
“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shoolih dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shobartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
5. Tabdil / mengganti yang tidak baik, yaitu merubah karakter anak dari sesuatu yang buruk dan tidak terpuji terutama karena pengaruh luar rumah dan atau pergaulan, dengan yang baik dan terpuji sesuai dengan nilai dan norma yang syar’i.
6. Tawashul / kontinyuitas melanjutkan sampai akhir zaman, hal ini karena Pendidikan dan pengajaran seorang manusia berlangsung sejak sebelum menjadi janin, sejak lahir bahkan terus menerus higga manusia itu dewasa dan bersiap kembali menuju Penciptanya yaitu berupa kematian. Maka Pendidikan itu haruslah menerapkan prinsip kontinyuitas yang tersambung antara satu fase degan fase berikutnya menuju manusia yang utuh sesuai dengan tuntunan dan pedoman Wahyu yang sudah ada.
19 M sifat/sikap negatif yang dapat memberi pengaruh pendidikan buruk dari orangtua terhadap anaknya, contohnya:
1) Mempertontonkan yang buruk-buruk kepada sang Anak, seperti: merokok, bergosip di depan anak;
2) Mengabaikan / Tidak peduli keadaan Anak, seperti: Bersikap masa bodoh apakah anaknya sholat ataukah tidak sholat tidak dipedulikan dan tidak ditegur, Membiarkan anak pacaran/pergaulan bebas;
3) Menyikapi Tidak Adil pada sang Anak, seperti: Anak yang satu diperlakukan istimewa sementara anak yang lain kurang diperhatikan;
4) Menyatakan bahasa buruk/ makian kepada Anak, seperti: “Kamu anak yang bodoh, penakut”, dll;
5) Membiasakan kebiasaan buruk, seperti: Membelikan anak gadget/mainan “games” dan membiarkan anak main game berjam-jam dan lalai dari Al-Qur’an;
6) Mendikte dengan kata-kata: “Pokoknya kamu harus ikut apa kata orangtua!” tanpa mau mendengar argumentasi/alasan sang Anak ketika menyikapi suatu keadaan/kondisi;
7) Memojokkan sang Anak bahwa sang Anak pastilah selalu di pihak yang salah, seperti: orangtua bila berbuat salah maka selalu melemparkan kesalahannya kepada sang Anak tanpa mau introspeksi diri;
8) Memanjakan sang Anak dengan kehidupan materialisme yang berlebih-lebihan dan tidak mengajar sang Anak untuk bershodaqoh;
9) Membebaskan sang Anak, tidak memberi aturan sesuai syari’at yang jelas bagi sang Anak sehingga sang Anak cenderung bersikap semaunya;
10) Mencela setiap tindak tanduk sang Anak sehingga sang Anak menjadi pribadi yang minder dan kurang percaya diri;
11) Merendahkan harga diri sang Anak;
12) Mempermalukan sang Anak, seperti: memarahi Anak tersebut dalam perkara kekurangan/ kelemahan/ kecacatan pribadinya di depan orang-orang banyak;
13) Mengungkap Aib sang Anak;
14) Mengungkit-ungkit kesalahan sang Anak di masa lalu padahal sang Anak telah bertaubat/ memperbaiki diri;
15) Membanding-bandingkan sang Anak dengan ana-anak lainnya, seakan-akan sang Anak tidak punya kebaikan, padahal dalam setiap individu Anak pastilah punya kelebihan masing-masing dan punya kekurangan masing-masing, dimana kelebihannya haruslah diapresiasi dan kekurangannya dicarikan solusi untuk diperbaiki;
16) Mengancam sang Anak dengan hukuman yang tidak mendidik dan diluar batas kemampuan sang Anak, sehingga bukannya memperbaiki sang Anak, alih-alih justru menjadikan sang Anak bersedih dan hancur hatinya;
17) Selalu menyalahkan sang Anak dalam segala perkara, tanpa menyelidiki penyebab suatu kesalahan/kelalaian terlebih dahulu, dan juga tanpa mau mendengarkan argumentasi sang Anak terlebih dahulu. Bisa jadi suatu kekeliruan/ kelalaian sang Anak adalah akibat faktor lingkungan, faktor pertemanan yang buruk, atau bisa jadi juga karena lemahnya ketauladanan orangtua di dalam rumah;
18) Menuntut sang Anak diluar batas kemampuan sang Anak dalam perkara yang bersifat duniawi dan melupakan tujuan utama agar sang Anak menjadi Anak Shoolih; contoh: Bila bapaknya seorang dokter maka si Anak harus jadi dokter seperti bapaknya, padahal kemampuan sang Anak bukanlah di bidang itu. Seyogyanya orangtua membimbing sang Anak agar menjadi ANAK SHOOLIH APAPUN PROFESI DUNIAWI yang digeluti sang Anak;
19) Menyikapi dengan otoriter, sehingga sang Anak menjadi tertekan.
Itulah diantara “19 M” sikap/sifat orangtua yang hendaknya dihindari ketika mendidik Anak. Sebelum menuntut sang Anak menjadi Anak yang Shoolih; maka hendaknya Orangtua memulai dari menshoolihkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Apabila orangtuanya sudah shoolih; maka in syaa Allooh sang Anak tentulah akan mencontoh keshoolihan orangtuanya dalam keseharian kehidupan di keluarganya. Janganlah sampai terjadi dimana orangtua menyuruh sang Anak menjadi Anak yang shoolih sementara orangtua sendiri mencontohkan perilaku-perilaku ma’shiyat didepan anaknya; bukankah suri tauladan terbaik adalah justru dari orangtua terlebih dahulu? Jangan sampai orangtua menyuruh anaknya rajin sholat, sementara sang orangtua sendiri pun bermalas-malasan sholat, dll.