Amal Bunda

Siapakah Yang Paling Berhak Memberi Nama Anak?

Bagikan :

Yang paling berhak memberi nama anak

Jika terjadi perdebatan sampai pertengkaran antara suami dan istri dalam menentukan nama anak.. lalu mertua-pun ikut campur dalam memberikan nama anak, siapa yang lebih kuat pendapatnya. Dan bagaimana solusinya…

Yang paling berhak memberikan nama anak adalah ayahnya, kemudian ibunya.

Ibnul Qayim mengatakan,

التسمية حق للأب لا للأم، هذا مما لا نزاع فيه بين الناس، وأن الأبوين إذا تنازعا في تسمية الولد فهي للأب

Memberi nama anak adalah hak bapak, bukan ibu. Tidak ada perbedaan di masyarakat tentang hal ini. Dan jika kedua orang tua berbeda pendapat dalam memberi nama anak, maka hak bapak lebih dikuatkan. (Tuhfatul Maudud, hlm. 135).

Dan jika ayahnya tidak ada, baik karena meninggal atau hilang atau tidak bertanggung jawab meninggalkan keluarga, atau hilang kesadaran akalnya, atau karena sebab lainnya maka yang berhak memberi nama anak adalah ibunya. Sebagaimana ibu juga paling berhak untuk mengasuh anak.

Allah bercerita dalam al-Quran mengenai istrinya Imran – ibunya Maryam. Beliau yang memberi nama anaknya dengan Maryam.

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ

Tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam. (QS. Ali Imran: 36).

Imam as-Sa’di mengatakan,

فيه دلالة على تفضيل الذكر على الأنثى، وعلى التسمية وقت الولادة، وعلى أن للأم تسمية الولد إذا لم يكره الأب

Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa lelaki lebih afdhal dibandingkan perempuan, dan bahwa pemberian nama dilakukan ketika hari kelahiran, dan bahwa ibu memiliki hak untuk memberikan nama bagi anak, jika ayahnya mengizinkan. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 128).

Sebagian ahli tafsir menyebutkan, bahwa ayahnya Maryam, yaitu Imran telah meninggal ketika Maryam berada dalam kandungan ibunya. Karena itu, yang memberi nama adalah ibunya. Abu Hayyan dalam tafsirnya mengatakan,

وَاسْتِبْدَادُهَا بِالتَّسْمِيَةِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَبَاهَا عِمْرَانَ كَانَ قَدْ مَاتَ، كَمَا نُقِلَ أَنَّهُ مَاتَ وَهِيَ حَامِل

Ibunya Maryam dengan tegas memberikan nama Maryam, menunjukkan bahwa ayahnya, yaitu Imran telah meninggal. Sebagaimana terdapat riwayat bahwa Imran meninggal ketika istrinya hamil. (al-Bahr al-Muhith fi at-Tafsir, 3/118).

Dan apapun itu, menjaga keutuhan keluarga itu penting. Jangan sampai keluarga ‘perang’ hanya gara-gara suami istri rebutan memberi nama anak. Selama makna dari nama itu baik, tidak bermasalah, sebaiknya disepakati bersama. Dan bagi para mertua lebih bersikap dewasa. Memahami bahwa anak dan menantunya sudah dewasa, sehingga izinkan mereka untuk menentukan arah keluarganya, termasuk ketika memberi nama anaknya sendiri.

Source : Ustadz Ammi Nur Baits

Leave a Comment